TUGAS ILMU BUDAYA DASAR
NAMA : Wien
cakra pramono
NPM : 17115145
KELAS : 1KA08
KULTUR UMUM MASYARAKAT
BANYUMAS
Budaya Banyumasan
memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Jawa Tengah,
walaupun akarnya masih merupakan budaya Jawa. Hal ini sangat terkait dengan
karakter masyarakatnya yang sangat egaliter tanpa mengenal istilah ningrat atau
priyayi. Hal ini juga tercermin dari bahasanya yaitu bahasa Banyumasan yang
pada dasarnya tidak mengenal tingkatan status sosial. Penggunaan bahasa halus
(kromo) pada dasarnya merupakan serapan akibat interaksi intensif dengan
masyarakat Jawa lainnya (wetanan) dan ini merupakan kemampuan masyarakat
Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar. Penghormatan kepada orang yang
lebih tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat, sayang serta sopan
santun dalam bertingkah laku. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh feodalisme
memang terasa tetapi itu bukan merupakan karakter asli masyarakat Banyumasan.
Selain egaliter, masyarakat Banyumasan dikenal memiliki kepribadian yang jujur
serta berterus terang atau biasa disebut Cablaka / Blakasuta.
SENI TRADISIONAL BANYUMASAN
Seni dan Budaya khas Banyumasan tumbuh dan
berkembang seusia dengan peradaban Jawa Kuna. Budaya Banyumasan juga diperkaya
dengan masuknya gaya budaya Mataram (Yogya-Solo) dan Sunda
(Pasundan/Priangan). Dari budaya Banyumasan ini lahir bentuk-bentuk kesenian
tradisional yang juga berkarakter Banyumasan seperti ebeg, lengger-calung,
angguk, wayang kulit gagrak Banyumasan, gendhing Banyumasan, begalan dan
lain-lain. Sedangkan di wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah Jawa
Barat lebih memiliki gaya budaya Pasundan seperti kesenian sisingaan,
gendang rampak, rengkong, calung dan lain-lain.
1. Ebeg
Ebeg' adalah jenis tarian rakyat yang berkembang di
wilayah Banyumasan. Varian lain dari jenis kesenian ini di daerah lain dikenal
dengan nama kuda lumping atau jaran kepang, ada juga yang menamakannya jathilan
(Yogyakarta) juga reog (Jawa Timur). Tarian ini menggunakan â€Å“ebeg†yaitu
anyaman bambu yang dibentuk menyerupai kuda berwarna hitam atau putih dan
diberi kerincingan. Penarinya mengenakan celana panjang dilapisi kain batik
sebatas lutut dan berkacamata hitam, mengenakan mahkota dan sumping
ditelinganya. Pada kedua pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang-gelang
kerincingan sehingga gerakan tangan dan kaki penari ebeg selalu dibarengi
dengan bunyi kerincingan. Jumlah penari ebeg 8 orang atau lebih, dua orang
berperan sebagai penthul-tembem, seorang berperan sebagai pemimpin atau dalang,
7 orang lagi sebagai penabuh gamelan, jadi satu grup ebeg bisa beranggotakan 16
orang atau lebih. Semua penari menggunakan alat bantu ebeg sedangkan
penthul-tembem memakai topeng. Tarian ebeg termasuk jenis tari massal,
pertunjukannya memerlukan tempat pagelaran yang cukup luas seperti lapangan
atau pelataran/halaman rumah yang cukup luas. Waktu pertunjukan umumnya siang
hari dengan durasi antara 1-4 jam. Peralatan untuk Gendhing pengiring yang
dipergunakan antara lain kendang, saron, kenong, gong dan terompet. Selain
peralatan Gendhing dan tari, ada juga ubarampe (sesaji) yang mesti disediakan
berupa : bunga-bungaan, pisang raja dan pisang mas, kelapa muda
(dewegan),jajanan pasar,dll. Untuk mengiringi tarian ini selalu digunakan
lagu-lagu irama Banyumasan seperti ricik-ricik, gudril, blendrong, lung
gadung,( cirebonan), dan lain-lain. Yang unik, disaat pagelaran, saat trans
(kerasukan/mendem) para pemainnya biasa memakan pecahan kaca (beling) atau
barang tajam lainnya, mengupas kelapa dengan gigi, makan padi dari tangkainya,
dhedek (katul), bara api, dll. sehingga menunjukkan kekuatannya Satria, demikian
pula pemain yang manaiki kuda kepang menggambarkan kegagahan prajurit berkuda
dengan segala atraksinya. Biasanya dalam pertunjukan ebeg dilengkapi dengan
atraksi barongan, penthul dan cepet. Dalam pertunjukannya, ebeg diiringi oleh
gamelan yang lazim disebut bendhe.
2. Laisan
Laisan adalah jenis kesenian yang melekat pada
kesenian ebeg. Laisan dilakukan oleh seorang pemain pria yang sedang mendem,
badannya ditindih dengan lesung terus dimasukkan ke dalam kurungan, biasanya
kurungan ayam, di dalam kurungan itulah Laisan berdandan seperti wanita.
Setelah terlebih dulu dimantra-mantara, kurunganpun dibuka, dan munculah pria
tersebut dengan mengenakan pakaian wanita lengkap. Laisan muncul di tengah
pertunjukan ebeg. Pada pertunjukan ebeg komersial, salah seorang pemain
biasanya melakukan thole-thole yaitu menari berkeliling arena sambil membawa
tampah untuk mendapatkan sumbangan. Laisan juga dikenal di wilayah lain (wetan)
dan mereka biasa menyebutnya Sintren.
3. Lengger-Calung
Kesenian tradisional lengger-calung tumbuh dan
berkembang diwilayah ini. Sesuai namanya, tarian lengger-calung terdiri dari
lengger (penari) dan calung (gamelan bambu), gerakan tariannya sangat dinamis
dan lincah mengikuti irama calung. Diantara gerakan khas tarian lengger antara
lain gerakan geyol, gedheg dan lempar sampur. Tari LenggerDulu penari lengger
adalah pria yang berdandan seperti wanita, kini penarinya umumnya wanita cantik
sedangkan penari prianya hanyalah sebagai badut pelengkap yang berfungsi untuk
memeriahkan suasana, badut biasanya hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah
penari lengger antara 2 sampai 4 orang, mereka harus berdandan sedemikian rupa
sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala disanggul, leher sampai dada
bagian atas biasanya terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan
dibahu, mengenakan kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas
Banyumasan yang lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul
sehingga terlihat sangat menggemaskan. Peralatan gamelan calung terdiri dari
gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang semuanya
terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti
gendang biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal
sebagai sinden. Satu grup calung minimal memerlukan 7 orang anggota terdiri
dari penabuh gamelan dan penari/lengger.
4. Angguk
Tarian jenis ini sudah ada sejak abad ke 17 dibawa
para mubalig penyebar agama Islam yang datang dari wilayah Mataram-Bagelen.
Tarian ini disebut angguk karena penarinya sering memainkan gerakan
mengangguk-anggukan kepala. Kesenian angguk yang bercorak Islam ini mulanya
berfungsi sebagai salah satu alat untuk menyiarkan agama Islam. Sayangnya jenis
kesenian ini sekarang semakin jarang dipentaskan. Angguk dimainkan sedikitnya
oleh 10 orang penari anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun. Pakaian para
penari umumnya berwarna hitam lengan panjang dengan garis-garis merah dan
kuning di bagian dada/punggung sebagai hiasan. Celana panjang sampai lutut
dengan hiasan garis merah pula, mengenakan kaos kaki panjang sebatas lutut
tanpa sepatu, serta memakai topi pet berwarna hitam. Perangkat musiknya terdiri
dari kendang, bedug, tambur, kencreng, 2 rebana, terbang (rebana besar) dan
angklung. Syair lagu-lagu tari angguk diambil dari kitab Barzanji sehingga
syair-syair angguk pada awalnya memang menggunakan bahasa Arab tetapi
akhir-akhir ini gerak tari dan syairnya mulai dimodifikasi dengan menyisipkan
gerak tari serta bahasa khas Banyumasan tanpa merobah corak aslinya. Bentuk
lain dari kesenian angguk adalah ‘aplang’, bedanya bila angguk dimainkan oleh
remaja pria maka ‘aplang’ atau ‘daeng’ dimainkan oleh remaja putri.
5. Wayang Kulit
Gagrag Banyumasan
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umunya, masyarakat
Banyumasan juga gemar menonton pertunjukan wayang kulit. Pertunjukan wayang
kulit di wilayah Banyumas lebih cenderung mengikuti pedalangan ‘gagrag’ atau gaya pedalangan
khas Banyumasan. Seni pedalangan gagrag Banyumasan sebenarnya mirip gaya Yogya-Solo
bercampur Kedu baik dalam hal cerita, suluk maupun sabetannya, bahasa yang
dipergunakanpun tetap mengikuti bahasa pedalangan layaknya, hanya bahasa para
punakawan diucapkan dengan bahasa Banyumasan. Nama-nama tokoh wayang umumnya
sama, hanya beberapa nama tokoh yang berbeda seperti Bagong (Solo) menjadi
Bawor atau Carub. Menurut model Yogya-Solo, Bagong merupakan putra bungsu Ki
Semar, dalam versi Banyumas menjadi anak tertua. Tokoh Bawor adalah maskotnya
masyarakat Banyumas. Ciri utama dari wayang kulit gagrag Banyumasan adalah
nafas kerakyatannya yang begitu kental dan Ki Dalang memang berupaya
menampilkan realitas dinamika kehidupan yang ada di masyarakat. Tokoh
pedalangan untuk Wayang Kulit Gagrag Banyumasan yang terkenal saat ini antara
lain Ki Sugito Purbacarito, Ki Sugino Siswacarito, Ki Suwarjono dan lain-lain.
6. Gending
Banyumasan
Gending khas lagu-lagu Banyumasan sangat mewarnai
berbagai kesenian tradisional Banyumasan, bahkan dapat dikatakan menjadi ciri
khasnya, apalagi dengan berbagai hasil kreasi barunya yang mampu menampilkan
irama Banyumasan serta dialek Banyumasan. Ciri-ciri khas lainnya antara lain
mengandung parikan yaitu semacam pantun berisi sindiran jenaka, iramanya yang
lebih dinamis dibanding irama Yogya-Solo bahkan lebih mendekati irama Sunda.
Isi-isi syairnya umumnya mengandung nasihat, humor, menggambarkan keadaan
daerah Banyumas serta berisi kritik-kritik sosial kemasyarakatan. Lagu-lagu
gending Banyumasan dapat dimainkan dengan gamelan biasa maupun gamelan calung
bambu. Seperti irama gending Jawa pada umumnya, irama gending Banyumasan
mengenal juga laras slendro dan pelog.
7. Begalan
Begalan adalah jenis kesenian yang biasanya
dipentaskan dalam rangkaian upacara perkawinan yaitu saat calon pengantin pria
beserta rombongannya memasuki pelataran rumah pengantin wanita. Disebut begalan
karena atraksi ini mirip perampokan yang dalam bahasa Jawa disebut begal. Yang
menarik adalah dialog-dialog antara yang dibegal dengan sipembegal biasanya
berisi kritikan dan petuah bagi calon pengantin dan disampaikan dengan gaya yang
jenaka penuh humor. Upacara ini diadakan apabila mempelai laki-laki merupakan
putra sulung. Begalan merupakan kombinasi antara seni tari dan seni tutur atau
seni lawak dengan iringan gending. Sebagai layaknya tari klasik, gerak tarinya
tak begitu terikat pada patokan tertentu yang penting gerak tarinya selaras
dengan irama gending. Jumlah penari 2 orang, seorang bertindak sebagai pembawa
barang-barang (peralatan dapur), seorang lagi bertindak sebagai
pembegal/perampok. Barang-barang yang dibawa antara lain ilir, ian, cething,
kukusan, saringan ampas, tampah, sorokan, centhong, siwur, irus, kendhil dan
wangkring.
Barang bawaan ini biasa disebut brenong kepang.
Pembegal biasanya membawa pedang kayu. Kostum pemain cukup sederhana, umumnya
mereka mengenakan busana Jawa. Dialog yang disampaikan kedua pemain berupa
bahasa lambang yang diterjemahkan dari nama-nama jenis barang yang dibawa,
contohnya ilir yaitu kipas anyaman bambu diartikan sebagai peringatan bagi
suami-isteri untuk membedakan baik buruk. Centhing, tempat nasi artinya bahwa
hidup itu memerlukan wadah yang memiliki tatanan tertentu jadi tidak boleh
berbuat semau-maunya sendiri. Kukusan adalah alat memasak atau menanak nasi,
ini melambangkan bahwa setelah berumah tangga cara berpikirnya harus
masak/matang. Selain menikmati kebolehan atraksi tari begalan dan irama
gending, penonton juga disuguhi dialog-dialog menarik yang penuh humor.
Biasanya usai pertunjukan, barang-barang yang dipikul diperebutkan para
penonton. Sayangnya pertunjukan begalan ini tidak boleh dipentaskan terlalu
lama karena masih termasuk dalam rangkaian panjang upacara pengantin.
Bahasa Banyumasan
Banyumasan atau mBanyumasan adalah: Kesatuan budaya,
bahasa dan karakter yang hidup dan berkembang di masyarakat wilayah Banyumasan.
Wilayah Banyumasan adalah sebuah wilayah yang terletak di bagian barat propinsi Jawa
Tengah, Indonesia atau wilayah yang mengitari Gunung Slamet dan
Sungai Serayu. Banyumasan sebagai kesatuan budaya adalah: akal budi, pikiran
serta hasil kreativitas masyarakat Banyumasan yang tumbuh sebagai suatu
rangkaian tindakan dan aktivitas yang memiliki karakter dan pola-pola tertentu.
Banyumasan sebagai kesatuan bahasa adalah:
tuturan/ucapan dengan sistematika tertentu yang digunakan masyarakat Banyumasan
untuk mewakili wujud suatu benda, tindakan, gagasan serta keadaan. Secara umum
ini sebut sebagai bahasa Banyumasan yang menjadi salah satu identitas
masyarakat Banyumasan.Banyumasan sebagai kesatuan karakter adalah : sikap
mental dan nilai-nilai moral yang secara genetis hidup di masyarakat
Banyumasan. Karakter Banyumasan sekaligus menjadi identitas masyarakat
Banyumasan. Wilayah Banyumasan secara umum terdiri dari 2 bagian yaitu: Wilayah
utara yang terdiri dari: Brebes, Tegal dan Pemalang, sertaWilayah selatan yang
mencakup Cilacap, Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas.
Hal ini merupakan implikasi dari regionalisasi yang
dilakukan pada jaman dahulu. Walaupun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat
istiadat dan logat bahasa tetapi secara umum dapat dikatakan satu warna,
sama-sama menggunakan logat bahasa Jawa ngapak-ngapak dan sama-sama berbudaya
penginyongan.
Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak.
Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa
Tengah, Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di
Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda
dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan
masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan Dituturkan di: Wilayah Banyumasan
(Jawa, Indonesia) Wilayah: BanyumasanJumlah penutur:12 - 15 juta. Klasifikasi
rumpun bahasa: Austronesia, Melayu-Polinesia, Melayu-Polinesia Barat,
Sundik, Bahasa Jawa, Bahasa Banyumasan.
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya
yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang
tinggal di wilayah Banyumasan. Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck,
mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah
sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan,
Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah
(Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian
Timur. Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/
Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di
luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana,
logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini
menarik untuk dikaji secara historis. Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek
Yogyakarta danSurakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan
yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo
orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain
itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh
dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan
suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan
bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.
SUMBER PENULISAN
1.http://id.wikipedia.org/wiki/kabupaten_banyumas
2.http://id.wikipedia.org/wiki/banyumasan
4.http ://id.wikipedia.org/wiki/dialek_banyumas